"Yut, kamu 'tu pernah jatuh cinta nggak? Pernah sakit hati juga? Trus kenapa kamu gak pacaran?"Pertanyaan Agnes tadi memang tidak bisa kujawab sepenuhnya. Aku terdiam cukup lama, ragu menyatakan yang sebenarnya.
Jatuh cinta? Tentu pernah. Aku yakin semua orang pernah merasakan jatuh cinta. Hanya berbeda cara menyikapi, hingga menjadikan beda pula porsi kecintaannya.
Sakit hati? Tentu pula pernah. Orang yang memiliki perasaan, pasti pernah merasa disakiti. Manusiawi.
Sakit hati dari orang istimewa? Apalagi. Kita pasti menyisakan tempat yang lebih luas bagi orang istimewa -menurut kita. Sedikit disakiti, sudah merasa sakit bertubi-tubi. Lagi-lagi hanya masalah menyikapi.
Lalu, alasan apa yang menjadikanku tak berpacaran?
Jatuh cinta, iya. Sakit hati, juga iya. Kita sama.
Berpacaran itu pilihan. Jatuh cinta itu anugerah Tuhan; datang sendiri, pulang harus ditemani.
Tak ada yang bisa mengelak hadirnya cinta. Tak ada yang bisa mengelak sakitnya hati. Perasaan jatuh cinta dan sakit hati itu, sekali lagi, hanya tentang cara menyikapi.
Berpacaran? Aku ulang lagi, itu pilihan. Kau bisa mengelak untuk tidak berpacaran. Kau bisa menghindar untuk tidak menerima ataupun mengajak orang lain untuk menjalin hubungan lebih. Ini pilihan.
Apa yang kusebut sebagai 'cara menyikapi'?
Semakin lama mengingat, maka semakin terpuruklah pada lingkaran cinta. Berputar tanpa pernah mau keluar. Zona aman yang tak nyaman. Zona bahagia yang bisa jadi tak membahagiakan. Cinta itu sebuah energi. Positif, jika kau bawa ke sana. Negatif, jika kau masih saja di sana. Maka, bergeraklah. Bukan berarti melupakan lho, ya. Ingat-ingat kehebatannya. Ingat-ingat yang menjadikannya istimewa di matamu. Ingat-ingat baik-baik. Kemudian lakukan apa yang menjadikanmu istimewa di hadapannya. Tak perlu vulgar memperlihatkan. Ia juga akan melihat jika kau terlihat, kok.
So, cinta itu tak harus memiliki jiwa ataupun raga. Tapi, cinta itu memiliki hati. Dan sesungguhnya hati itu tak akan pernah berhenti mencintai hati.