12 Desember 2015

Ibu yang Kubenci Tak Akan Pernah Sama Dengan Ibu yang Kalian Cintai


Aku benci ibuku.

Hanya itu kalimat yang bisa aku tuangkan saat Pak Rasya meminta kami menuliskan ungkapan terima kasih pada ibu di hari spesial ini. Meski tepat di hari ini pula, ibuku berulang tahun. Ah, ya:

Selamat ulang tahun, Bu.

Saat teman-teman menulis segepok kisah haru mereka bersama ibunya, aku mentok. Tanganku justru hanya mampu bermain pena tanpa merangkai kalimat lain. Bayanganku tentang ibu, sudah buntu.

Yang aku tahu, dulu, masaku kanak-kanak, ibu tak pernah di rumah. Oke, aku haluskan kalimatnya. Ibu jarang di rumah. Beliau hanya seringkali memastikan bahwa keadaanku, menurutnya, baik-baik saja. Lalu ibu akan menyuapiku setiap pagi setiap hari sebelum ia pergi, memesan lauk makan siangku pada tetangga untuk kemudian diantarkan ke rumah saat aku pulang sekolah, …

…, lalu …

Ah, sungguhkah hanya itu yang bisa aku ingat tentang ibuku atas kebaikannya?

Sementara aku selalu merasa jengah atas sikap yakinnya bahwa aku baik-baik saja. Nyatanya, nyaris setiap malam aku harus berjuang sendirian melawan ketakutan. Riwayat penyakit psikologisku tak pernah lumpuh dari ingatan hingga kini. Dan ibuku, hanya percaya bahwa aku tumbuh dengan kejiwaan yang baik-baik saja.

Maka, masih perlukah aku mengingat-ingat tentang kebaikannya yang justru tidak dapat aku temukan?

Kala ibu membaca tulisan ini nanti, mungkin ia akan menyadari bahwa anaknya yang dikira mencintainya, ternyata tidak sedang baik-baik saja. Aku memang sedemikian hina. Terpikir untuk memuji Ibu saja tidak. Namun, apakah beliau akan mengutukku menjadi batu? Aku kira juga tidak. Toh dunia sudah tak se-mistis itu kan?

Tapi doa ibu masih mistis. Dan pepatah surga di telapak kaki ibu, sepertinya masih berlaku. Oleh sebab itu, aku selalu berusaha mengikuti apapun keinginan ibu. Walaupun terkadang rasa ikhlas itu seringkali tak ada, jalani saja. Ibu kata ya, ikuti. Ibu kata tidak, turuti.

Itu sekarang.

Dulu, sikap egoisku membendung tak tertahankan. Ah, semua orang juga, aku yakin, mengalami masa egois ini. Ibuku? Juga egois setengah mati. Kalau ibuku tak egois, mungkin kami tak akan pernah bertengkar sehebat malam itu. Pun tak pernah aku akan mendapatkan keeksotisan malam remang-remang kota sebab aku kabur dari rumah. Nah, pada bagian ini seharusnya aku patut mengucapkan terima kasih.

Banyak ibu-ibu kata, ibu juga manusia. Aku tak percaya. Mereka lebih dari sekedar manusia. Segala maunya, dituruti semesta. Anak-anak pembangkang saja terbukti nista hidup di dunia. Entah di akhirat kelak: mungkin bakal gosong berkali-kali, ditendang-tendang kaki, dihujat pakai api.

Harus ya, aku pakai alasan itu untuk mencintaimu, Bu?

Aku jadi penasaran dengan ibu-nya teman-teman. Sebaik apa ibu mereka, sampai-sampai tak ada seorang pun yang lengah dari kertas di hadapannya. Sebagian mengusap air mata, sebagian lagi tersenyum-senyum, sebagian justru tertawa. Mungkin mengingat momen kebahagiaan bersama ibu mereka.

Berbicara tentang momen, aku berbahagia bersama ibu sewajarnya saja. Bagiku tak ada yang istimewa. Saat aku ulang tahun, ibu hanya membuat nasi kuning yang kemudian dibagikan ke tetangga-tetangga. Saat aku naik kelas, tak sekalipun ibu mengucapkan selamat kepadaku. Saat aku menang berbagai lomba, ibu hanya perlu mendengar berita itu dari rekan’kerja’-nya. Saat aku pergi ke desa sebelah untuk melanjutkan studi, ibu cukup menitip pesan pada tetangga agar memberiku beberapa lauk untuk bekal makanku beberapa hari ke depan. Saat aku sudah di kota seberang? Menelepon saja sudah alhamdulillah.

Memang, ibuku tak sama dengan ibumu. Dan aku benci itu.

Aku benci saat ibu mereka menelepon dan menanyakan kabar. Memperhatikan dengan saksama setiap ucapan yang keluar dari bibir sang anak, lalu seakan menepuk pundak untuk menentramkan kegelisahan putranya. Aku benci saat ibu mereka tak percaya bahwa anaknya bisa melakukan segala hal yang ada di hadapannya, sebab ibuku selalu percaya bahwa aku tak pernah butuh bantuan ibu. Aku sungguh membenci ibuku.

Aku benci ibuku yang sangat percaya bahwa hatiku sekeras baja, hasratku sebesar angkasa, mimpiku seluas samudera. Aku benci ibuku yang seakan tak pernah mengkhawatirkan anaknya akan menjadi apa. Begitu benci saat ia yakin bahwa aku benar-benar bisa menanggung segala beban yang diberikan oleh Tuhan. Aku benci ibuku yang amat percaya bahwa aku-baik-baik-saja.

Ibu, aku rindu membuatmu khawatir kepadaku.

Tiba-tiba Pak Rasya mendekat, membaca tulisanku yang hanya tiga kalimat itu. Menyipit, memastikan bahwa ia tak salah baca. Aku takut-takut mendengar suara paraunya, “Berdiri, Cha.”

Menurut, aku berdiri. (Bukankah aku memang penurut, pun kepada ibuku?)

Pak Rasya mengambil kertasku, lalu pergi ke luar kelas. Aku masih berdiri di tempat, tanpa sekalipun berani berkutik sembari dipandangi kawan seisi kelas. Hening. Sesaat kemudian, teman-temanku melanjutkan tulisan haru mereka.

Aku tetap berdiri. Berdiri sampai bel sekolah itu berbunyi.


Sementara di balik jeruji besi, sang ibu sedang berdiri, menanti bel sekolah berbunyi.


____________________________________
* Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DearMama yang diselenggarakan Nulisbuku.com dan Storial.co


1 komentar: