14 Oktober 2012

Impian, Kalimantan, dan KKN (3)


Penentuan lokasi KKN yang disetujui oleh LPPM sudah berlalu, dan KKN Maratua termasuk calon yang lolos. Itu artinya satu tahap sudah terlewat. Waktu untuk menentukan siapa saja yang berhak berangkat ke Maratua akan segera dimulai. Kami biasa menyebutnya, log in. Mendaftar secara online di website LPPM. Memilih dua kelompok KKN yang diminati. Seharusnya, pilihan pertama saya ditempati oleh KKN Maratua dan pilihan kedua adalah lokasi KKN yang lain. Ketegangan dan kebimbangan saya meningkat.

Haruskah saya mendaftarkan diri saya di KKN Maratua? Ingatan saya kembali pada Bapak, Ibu, yang berat melepas saya. Teringat pula dengan dana yang harus dikeluarkan. Tapi, saya sudah terlanjur bahagia dengan teman-teman baru saya. Apa yang akan dikata mereka jika saya keluar untuk bergabung dengan kelompok KKN yang lain? Apa pula yang akan terjadi jika saya membalik urutan -pertama untuk KKN di Jawa dan kedua untuk KKN Maratua- itu?

Impian, Kalimantan, dan KKN (2)


Suatu waktu, seorang teman menawari saya untuk bergabung dengan kelompok KKN teman satu kosnya. Lebih lanjut, diketahui bahwa teman satu kosnya itu adalah seseorang yang sudah saya tahu (belum kenal lho ya) melalui teman satu kos saya dulu. Dia bercerita bahwa kelompok KKN itu akan menempati pulau Maratua, sebuah pulau kecil di Kalimantan. Dengan masih penuh rasa bimbang, saya kirim pesan kepada teman satu kosnya itu dengan menyebutkan asal sumber informasi beserta permintaan untuk turut bergabung.

Sumber Gambar

Impian, Kalimantan, dan KKN (1)

Lama sudah aku tak menyentuh blog ini. Sepertinya sudah usang? Oh, belum. Masih terlihat dari adanya peningkatan jumlah pengunjung yang saya yakin, kesasar.

Ya, hari ini saya tak sengaja mampir. Mengingat-ingat kembali kepingan cerita yang telah ter-publish di blog ini. Tak lupa saya mengunjungi tulisan favorit saya, Mengingat Bocah. Membaca kembali, mengingat-ingat lagi, menerawang, dan akhirnya saya kembali berkaca-kaca.

Mungkin bocah itu pula yang membawaku pada keinginan mengunjungi Kalimantan. Mungkin ini adalah muaranya. Tak pernah sebelumnya saya penasaran dengan pulau besar di seberang Jawa itu. Hanya cukup tahu. Tapi, seketika setelah bertemu mereka, saya selalu menginginkan diri saya untuk menginjak pulau Kalimantan. Melihat indahnya alam Indonesia beserta garis khatulistiwanya. Sembari mencari bocah itu, tentunya.

Keinginan hanyalah keinginan. Beberapa kali saya memupusnya. Itu mustahil, berapa biaya ke sana? Pakai uang siapa? Apa Bapak-Ibu mengijinkan? Untuk apa?

Bukan Bapak-Ibuku namanya, jika mengijinkan putri bungsu-nya ini menjelajah sendiri (tanpa ditemani orang tua, red) dengan tidak ada alasan apapun. Ijin saja susah didapat, apalagi uang untuk perjalanan ke sana? Belum lagi biaya untuk hidup di pulau yang terkenal lebih mahal daripada Jawa itu.

Seakan musnah sudah, pupus sudah. Keinginanku terkubur dalam-dalam.

Hingga pada suatu waktu, ..