Ini adalah kisah teman saya. Teman terdekat saya saat ini. Benar-benar dekat. Bagaimana tidak? Kamarnya disamping kamar kos saya. Satu kampus juga dengan saya. Dan sekarang juga ada di depan saya.
Sebenarnya masih ada satu teman terdekat saya selain dia. Sebut saja dia si Bandit :p. Jadi, ada saya, si Bandit, dan si Tenker. Kami bertiga sering disebut sebagai Geng Kartini. Walaupun sebenarnya kami tidak bermaksud membuat kelompok tersendiri. Tapi ya begitulah, saking seringnya kami bersama, mungkin temen-temen kami terlalu tak rela membiarkan kami tanpa nama. haha
Kenapa Geng Kartini? Karena kami satu kos. Loh? Hanya karena satu kos? Hmm, sebenarnya tidak juga. Tapi bukan juga karena kami semua adalah wanita. Kosan kami bernama Asrama Kartini-kartini, jadi mereka menamainya dengan Kartini.
Lah, ini kok malah jadi nyampe situ? Hoho, kembali ke topik awal. Saya ingin menceritakan satu teman saya itu. Namanya si Tenker. Sesuai dengan namanya, Lady Denker, dia benar-benar wanita perkasa. Menurut ceritanya, sang Ibu memberikan nama tersebut dengan mengambil bahasa Sansekerta. Huwo, tau juga tuh Ibu! :D
Yah, cerita saya nglantur. Saya tak pandai bercerita. Tapi saya punya kemauan untuk menceritakan kisahnya. Jadi, jangan kaget kalo cerita saya kemana-mana.
Gini lho, waktu itu, si Tenker lagi sibuk di depan laptop. Dia mencari-cari sesuatu dengan seriusnya. Kami, (saya, si Bandit, dan kakak saya), tak terlalu mempedulikan tingkahnya di kamar saya. Sudah biasa. Kami selalu berlaku selayaknya rumah sendiri dimanapun. Kami terlalu sibuk dengan obrolan kami, dan saya tidak terlalu ingat dengan topik pembicaraan waktu itu.
Waktu terus berlalu. Tak ada yang istimewa. Semuanya berjalan seperti biasa. Hanya saja, si Tenker itu jadi lebih sering ngenet cari-cari peta, tanya-tanya ke temen-temen tentang jalan menuju Jawa Timur, ngajakin debat tentang travelling, dan lain sebagainya. Tapi, si Bandit dan saya tidak begitu curiga dengan apa yang akan dia lakukan. Kami hanya tahu bahwa dia terobsesi dengan sepeda bututnya.
***
Besok adalah hari libur menuju lebaran. Kami mulai menyiapkan aksesoris pulang kampung. Si Tenker tak berubah. Dia masih sibuk dengan sepeda bututnya. Malah dia mengajak saya untuk turut serta dengannya melakukan perbaikan untuk sang sepeda. Tapi saya tak peduli. Saya menolak. Penolakan saya itu tak membuatnya putus asa. Ia tetap berangkat ke bengkel. Merawat sepeda tercintanya. Saya juga tak curiga dengan apa yang dia lakukan. Dia memang begitu. Selalu ada saja tingkah anehnya.
***
Hari ini kami pulang kampung. Jam tujuh nanti saya harus segera pergi ke agen travel. Si Bandit jam tujuh juga harus segera pergi ke stasiun. Si Tenker tak pesan tiket apapun. Tapi ia turut bersiap bersama kami. Semua sibuk dengan persiapannya masing-masing.
Kami mulai curiga. Si Tenker mau pulang juga. Ia juga sudah siap, sudah memakai pakaian perjalanannya. Lengkap dengan seluruh barang bawaan. Satu tas ransel, satu tas jinjing, dan dua kotak kardus bakpia. Loh, mau pulang naik apa dia?
Si Bandit dan saya berhenti dari kesibukan masing-masing. Kami mulai memperhatikan si Tenker. Bertanya-tanya. Saling memandang. Sampai akhirnya si Tenker sadar dan tersenyum.
“Tong, mau pulang? Naik apa?” tanya saya. Heran.
“He, he.. Sepeda.”
Jeder! Tak salah itu orang? Mau pulang dari Jogja ke Blitar, dengan jarak tempuh normal 6 jam naik mobil akan ditebas dengan naik sepedaaa??
“Hei, yang benar saja?” ucap si Bandit tak percaya. “Yakin?”
“Iya.” Jawabnya santai.
Ya sudah. Kami tak bisa berbuat apa-apa. Dia sudah siap, yakin dengan kemauannya. Tak ada yang bisa merubahnya. Itu sudah jadi sifatnya. Dia yakin, kalau ada kemauan pasti ada jalan.
“Jadi yang selama ini dia lakukan ‘tu ini to?” gumam saya.
Masih di hari yang sama. Di depan kos.
“Ayo Tong. Kita foto-foto dulu. Barangkali nanti kamu masuk tivi. Kan ntar foto kita bisa masuk tivi juga. Setidaknya foto dulu, baru orangnya.” Guyon kami sebelum dia memulai perjalanannya.
***
Tak ada kabar tentangnya. Tiga hari berlalu. Saya sudah bersantai di rumah. Iseng-iseng saya buka profil FB nya. Berharap mendapat kabar. Banyak sekali ucapan selamat dan doa untuknya. Selamat jalan kek, semoga selamat sampai tujuan kek, atau bahkan ungkapan ketakpercayaan teman-temannya. Benar-benar membuat kami khawatir.
Ho, lebih-lebih orangtuanya. Menurut ceritanya, hari terakhir di perjalanan dia di sms oleh Ibunya: Sudah sampai mana, nduk? Jawabnya: Gerbang pintu masuk Blitar, Bu. Ditunggu satu jam, dua jam, hingga tiga jam tak sampai-sampai juga di rumah. Ibunya sms lagi: Udah nyampe gerbang tapi kok gak nyampe-nyampe rumah? Mengingat jarak keduanya tak terlampau jauh. Mungkin sekitar satu jam sampai satu setengah jam-an.
Setelah melihat putrinya sampai, sang Ibu langsung memeluknya erat. Sungguh, orangtua mana yang tak khawatir menunggu anaknya yang sudah ijin pulang tiga hari yang lalu tapi baru sampai di rumah hari ini.
***
Sudah lewat satu semester dengan kejadian itu. Sekarang desas-desus keinginannya ke Bali sudah sampai di telinga saya. Banyak rencana. Tapi banyak pula perubahan. Antara jadi dan tidak.
Si Tenker ngotot. Pokoknya harus berangkat, titik. Ada waktu dua minggu untuk menikmati liburan. Harus jadi. Apapun resikonya.
Ya, tekad. Siapa yang bisa melawan kalo itu udah jadi tekadnya? Liburan ini dia berangkat ke Bali. Naik sepeda lagi. Hanya saja sekarang dia tidak sendiri. Si Tenker ditemani dua orang temannya, naik sepeda juga. Dari Jogja.
Obsesi. Apapun obsesimu. Bergeraklah. Yakin bahwa kamu bisa. Kejar hingga mimpimu tak sanggup berlari lagi. Pegang dengan erat setelah kau mendapatkannya. Dan tersenyumlah. Karena kau mampu menaklukkannya.^^
Jogjakarta, 06 April 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar