15 Mei 2011

Tentang 'Bidadari-bidadari Surga'



Aku baru saja menyelesaikan buku itu: Bidadari-bidadari Surga. Ya, terlambat memang. Buku itu sudah lahir sejak bulan Juni 2008. Dan sekarang adalah Mei 2011. Ah, itu tak jadi masalah. Yang pasti bagiku, buku-buku Tere Liye menarik dibaca kapanpun dan dimanapun (kecuali kalo ada yang ganggu -bikin buku apapun juga gak menarik dibaca! :D).


Dibaca judulnya, aku kira cerita ini tentang kisah beberapa bocah (karena kata bidadari disebut dua kali, pertanda jamak) yang baik hatinya, santun perangainya, tutur santun peeerangainya. Haha, jadi inget lagu itu. Tau gak? -gak penting lagi-. Bahkan setelah aku sudah membaca dapat setengah tebal buku, membayangkan bahwa bocah-bocah itu nantinya akan menjadi 'bidadari'. Entah bidadari yang seperti apa yang akan Tere Liye maksud. Yang pasti ada hubungannya dengan surga: kematian.




Ternyata dugaanku sedikit meleset. Tentang kisah bocah memang benar. Buku itu bercerita tentang lima bocah yang berasal dari Lembah Lahambay. Kak Laisa, Dalimunte, Wibisana, Ikanuri, dan Yashinta. Tapi, inti dari novel ini sebenarnya adalah kisah tentang satu bocah. Bukan beberapa bocah. Bocah itu Kak Laisa. Bocah yang tumbuh untuk menepati janjinya sebagai kakak (angkat) kepada keempat adiknya, bocah yang rela dan ikhlas tehadap apapun keputusan Tuhannya, bocah yang enggan berpikir tentang dirinya sendiri, bocah mulia, yang diangkat dari dunia untuk menjadi Bidadari-bidadari Surga di atas sana...


Ah, sebenarnya disebut bocah juga kurang pas. Bukan bocah lagi jika manusia itu sudah layak dihadapkan pada permasalahan tentang perjodohan. Memang, novel ini menceritakan dari asal mula mereka lahir hingga mereka dewasa, atau malah bisa disebut sebagai 'orang-tua'? Hm, hanya masalah diksi. Tapi jujur, aku lebih suka menyebut mereka sebagai bocah. Lebih terkesan lugu. Mereka adalah orang-orang lugu, ciri khas penggambaran anak desa.


Dugaanku tentang diksi kata surga juga benar. Mati. Salah seorang dari bocah-bocah itu meninggal. Seorang yang dianggap paling mulia diantara semuanya. Meninggal dengan keadaan bahagia, tenang. Pancaran cahaya dari wajah tersenyum itu mengisyaratkan tentang keadaannya di 'dunia atas' nanti: Surga.


Ternyata Bidadari-bidadari Surga yang dimaksud Tere Liye adalah orang yang rela dan ikhlas akan ke'sendiri'annya. Seperti dikutip dalam halaman epilog berikut:
Dengarkanlah kabar bahagia ini.
Wahai wanita-wanita yang hingga usia tiga puluh, empat puluh, atau lebih dari itu, tapi belum juga menikah (mungkin karena keterbatasan fisik, kesempatan, atau tidak pernah 'terpilih' di dunia yang amat keterlaluan mencintai materi dan tampilan wajah). Yakinlah, wanita-wanita salehah yang sendiri, namun tetap mengisi hidupnya dengan indah, berbagi, berbuat baik, dan bersyukur. Kelak di hari akhir sungguh akan menjadi bidadari-bidadari surga. Dan kabar baik itu pastilah benar, bidadari-bidadari surga parasnya cantik luar biasa.
Itulah yang dialami Kak Laisa.
Dan ternyata, Bidadari-bidadari Surga itu sebenarnya kisah yang diceritakan oleh Mamak kepada kelima anaknya, mirip dengan kisah Kak Laisa.
Cerita yang indah. Mengharukan. :')


Tere Liye selalu saja menghasilkan tulisan yang tidak percuma. Pasti ada hikmah dibalik semuanya, khas. Membaca tulisannya bukan berarti menghabiskan waktu luang. Bacaan-bacaan yang tidak terkesan berat itu mengandung nilai-nilai yang patut dijadikan pelajaran kehidupan. Betapa pengalaman hidup itu amat berharga, termasuk membaca. Heran aku. Bagaimana bisa Tere Liye menyimpan hikmah yang ada pada kisah ceritanya (yang aku rasa dia tidak sekedar untuk menyalurkan hobi) untuk ditulis Terakhir. Aku tak bisa menyimpan itu. Pasti buru-buru aku tulis, yang pasti keburu nanti aku lupa. Dan tulisan itu akhirnya mengungkap hikmah cerita yang 'tidak biasa' yang belum saatnya untuk diungkap. #hh, cobaan penulis.


Sebelumnya maaf ya Bang Tere.. Aku menemukan setitik kesalahan di novel itu:
Tanya dulu deh, Wibisana dan Ikanuri itu lahirnya duluan siapa? Wibisana, bukan? Tapi aku menemukan umur Ikanuri disebut lebih tua satu tahun dari Wibisana. Begini kutipan tulisan itu:
Hari-hari itu, usia Kak Laisa sudah 43, Dalimunte 37, Ikanuri menjelang 35, Wibisana 34, dan Yashinta 31 tahun. ... 
(Bidadari-bidadari Surga, hal. 289)

Tak ada yang berhak disalahkan untuk kesalahan kecil semacam itu. Mungkin Bang Tere yang lupa. Atau mungkin editornya yang lupa. Banyak kemungkinan. Yang pasti, ke-bagus-an novel itu tidak berkurang sedikitpun. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar