17 September 2013

[Falifal] Akhirnya, Kau Genggam Mimpimu!

Hari Kamis, 5 September 2013 pukul 07.45 WIB. Dering handphone-ku berbunyi. SMS masuk. Tertera dalam layar, nama sang pengirim: Gongsin Ifal Bu Wulan.

*Bukan, sesungguhnya bukan itu nama lengkapnya. Ya biasalah, untuk memudahkan pengelompokan kontak di hape, maka kubuatlah nama seperti itu. Gabungan antara Gongsin - Ifal - Bu Wulan. Gongsin, merupakan nama lembaga bimbingan belajar; Ifal, adalah nama anak kelas XII SMA yang ku(h)ajar; dan Bu Wulan adalah nama Ibunya. Nah, nama seharusnya adalah: Bu Wulan.*

Begini isi SMS-nya:
Ass.mbk2 Alhamdulillah ifal hr ini peng STAN di trima ,kami sekelrga trimakasih byk atas doa ,bimbingan, dukungan mbk2 semua. Semoga menjd amal ibadah mb2 sekalian

Sederhana. Poinnya: Ifal diterima di STAN!
Sungguh, aku menjerit seketika membaca SMS itu. Alhamdulillaah.

Usahamu berbuah manis, Fal. Gak sia-sia kan, 'kunci jawaban'-ku waktu itu? :p
Ah, sayangnya gak bakal ada latihan nge-drum gratis! Haha. Sip-lah pokoknya, baik-baik di sana ya. Oya, bandel itu tetep perlu kok Fal. Perlu, untuk menaklukkan dunia :)

Edisi [Falifal] lainnya:
Bukti Kelulusan Tes Tulis STAN 2013

3 September 2013

Menghilangkan 'Aku' dari Jiwaku

*Malam tadi, saya tidak sengaja membuka-buka file di laptop. Niatnya sih, untuk mencari beberapa hasil kerja. Namun, tak disangka tulisan ini muncul di antara sekian banyak 'simpanan'. Maka, kuputuskan untuk mem-publish-nya di blog. Bukan apa-apa, hanya berniat menjaganya supaya tidak punah. Hehe

Aku duduk termenung di bibir ranjang. Memikirkan sesuatu hal yang tidak terlalu aku pahami. Waktu itu umurku masih sekitar 4 tahun, tetapi pikiranku sudah terlampau hingga ke sana. Sesekali aku mengabaikan pikiran-pikiran itu. Aku terlalu takut untuk mengingatnya. Membuangnya jauh-jauh hingga saat itu tiba lagi.
Tak berapa lama Ibu dan Bapak datang ke kamar. Kami selalu tidur bersama. Seperti biasa, aku menempatkan diriku di ranjang bagian tengah, diantara Bapak dan Ibu. Sudah satu jam lamanya mataku belum juga terlelap. Aku terganggu. Terganggu dengan suara-suara itu. Aku terganggu oleh diriku sendiri. Aku terganggu oleh barang-barang di sekitarku. Aku terganggu oleh semuanya. Segala hal yang ada disampingku, kecuali tubuh Bapak Ibuku.
Malam ini adalah malam kesekian kalinya aku merasakan hal ini. Ketika Bapak Ibu sudah terlelap, aku masih terjaga. Menahan telingaku untuk tidak mendengar suara-suara menyeramkan itu. Menguasai diri untuk bisa melepas kejahatan yang menyerang jiwaku. Menutup mata kencang-kencang agar aku tak melihat sesuatu yang menakutkan, walaupun sebenarnya aku tak pernah melihatnya.
Aku tak pernah menceritakan kisah ini pada siapapun, termasuk Bapak Ibu. Kala itu aku sudah tahu bahwa ini adalah sesuatu yang tidak wajar. Sesuatu yang tidak wajar akan menjadikan Bapak Ibu tidak mudah mempercayainya. Aku tak mau dikira mengada-ada. Dan aku meyakinkan diri bahwa aku bisa menghadapinya.
Kejadian ini tak hanya menyerangku ketika aku beranjak tidur. Bahkan tak jarang ia mendatangiku saat aku jatuh sakit. Semakin parah sakit panasku, maka semakin parah pula kelakuannya. Mendatangiku setiap saat, setiap waktu. Tak peduli aku sedang bersama siapa. Ia hadir secara tiba-tiba, mengganggu jiwaku. Ah, entah apa maksudnya. Yang kutahu dia hanya bisa mengganggu. Tak pernah sekalipun membantu ataupun menghiburku.
Mereka adalah pericuh kebahagiaan masa kecilku. Mereka membuat diriku menjadi cengeng, pendiam, dan selalu merasa takut terhadap siapapun. Termasuk saudara-saudaraku. Aku tak pernah mau digendong selain Ibu dan pembantuku. Aku selalu menangis jika ditinggal oleh Ibu dan Bapak. Aku harus ditemani, tak mau ditinggal sendiri.
Terakhir mereka menyerangku adalah ketika aku masih duduk di bangku sekolah. Waktu itu aku sedang sakit demam, dan tiba-tiba ia hadir lagi setelah sekian lamanya. Menggangguku lagi. Ia membuat diriku menjadi merasa seperti raksasa, tubuhku seakan membesar. Pembesaran tubuh ini dimulai dari jari-jari tangan, pergelangan tangan hingga akhirnya kaki dan jari-jarinya. Pernah sesekali aku katakan pada Ibu bahwa tanganku membesar, dan kusuruh beliau memegangnya. Akan tetapi, beliau tak pernah menanggapinya secara serius. Beliau hanya berkata, “Ah, gak kenapa-napa kok. Tak ada yang membesar, ukuran tanganmu masih seperti biasa..”
Tak hanya sampai disitu, makhluk menyebalkan dan teman-temannya itu juga menggangguku melalui suara. Suaranya berat dan keras, membuat telingaku tak pernah berhasil menghilangkannya. Mereka menuduhku macam-macam. Mereka memarahiku karena banyak hal. Menudingku berbuat segala sesuatu yang salah. Seakan aku tak pernah berbuat benar.
Mereka juga menggangguku lewat barang-barang disekitarku. Menjadikan aku tak berani memegang apapun. Kain-kain disampingku serasa menjijikkan. Termasuk kain yang menempel di tubuhku. Memegang tubuhku pun aku tak berani. Bahkan seprai, selimut, bantal, juga terasa menjijikkan bagiku saat itu. Jari-jari tanganku selalu kubuat membuka untuk menghindarinya. Hingga lama-kelamaan tubuhku mengecil dengan sendirinya.
Lama aku mencoba membuang jauh-jauh perasaan itu. Tak banyak berhasil. Hingga akhirnya aku mencoba memejamkan mata sekeras-kerasnya dan berkomat-kamit mengucap doa. Memohon bantuan dari Yang Maha Kuasa. Dan akhirnya aku terlelap.
Sekali waktu pernah juga aku merasakannya lagi. Hampir-hampir seluruh barang yang ada disampingku, aku lempar. Kain yang menempel di tubuh, aku lepaskan. Lantai saja terasa ngeres semuanya. Tak ada yang beres dengan tubuh dan lingkunganku. Segalanya terasa menyebalkan.
Berkat ide kakakku yang waktu itu kebetulan ada disampingku, aku dibawa ke kamar mandi. Seluruh pakaian yang aku pakai dilepaskannya, tubuhku diguyur air sebanyak-banyaknya. Aku terus mengerang, menolak perlakuan kakakku. Aku dipakaikan baju bersih, diambil langsung dari lemari. Semuanya bersih sekarang. Dan aku merasa lebih tenang.
Kejadian semacam itu berlangsung hingga sekarang. Masih terkadang datang secara tiba-tiba. Akan tetapi, sejak saat itu aku tahu bahwa aku membutuhkan sesuatu yang bersih dari tubuh dan lingkunganku. Ketika mereka datang lagi, aku harus segera ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhku, membasahinya. Beberapa kali aku cukup meregangkan jari-jariku untuk menghindari pembesaran tubuh. Dan benar, aku mampu mengatasinya. “Tuhan tak pernah membebani hambaNya dengan sesuatu yang tak mampu diembannya.”

Yogyakarta, 17 Juni 2011

* Karya ini diikutkan dalam lomba Hate ½ Mati yang diadakan oleh Diva Press dan termasuk dalam sepuluh karya terbaik.

Gambar yang (Tak) Tergambar

*Malam tadi, saya tidak sengaja membuka-buka file di laptop. Niatnya sih, untuk mencari beberapa hasil kerja. Namun, tak disangka tulisan ini muncul di antara sekian banyak 'simpanan'. Maka, kuputuskan untuk mem-publish-nya di blog. Bukan apa-apa, hanya berniat menjaganya supaya tidak punah. Hehe 

Seandainya saya bisa menggambar, mungkin gambaran bayang semu itu akan terlihat lebih jelas.

Akan kubuat semacam gambar kotak dengan warna-warni ceria yang indah. Dan kau tahu apa itu?
Kotak yang di dalamnya tercantum dua huruf besar-besar. Sangat besar. Setidaknya itu bisa menjadi bukti kecil bahwa kami sangat bahagia dan yakin dengan apa yang kami putuskan. Sebelum ada bukti-bukti kebahagiaan lain yang lebih menakjubkan. Kotak yang mencantumkan nama lengkap kami, nama kedua orangtua kami, dan waktu mendebarkan bagi seluruh hati kami. Semoga seluruh alam merestui.

Akan kubuat semacam kursi panjang, tiga buah, yang dibelakangnya terdapat bunga-bunga mekar dengan ukiran kayu cemerlang. Dan kau tahu apa itu?
Yang pada hari di saat seluruh hati berbahagia, kami duduk di atas kursi itu. Begitu pula dengan kedua orangtua kami. Tersenyum, membagikan kebahagiaan kepada seluruh orang yang hadir. Tertawa, mengingat kebodohan kecil yang kami dan mereka lakukan saat itu. Menyipit, mengingat kejadian sebelum kami duduk di kursi istimewa itu. Hingga tetesan air mata pun tak mampu dibendung. Bu, Pak, restui kami..

Akan kubuat pula semacam segitiga dan kubus sederhana, merah-putih. Dan kau tahu apa itu?
Yang menjadi saksi bisu perjuangan kami. Menemani kebahagiaan dan kesedihan yang kami jalani. Menertawakan kekonyolan-kekonyolan kehidupan kami. Memberi keteduhan ketika kami berada di ambang ketidakpuasan. Menahan kami untuk selalu bersama.

Akan kubuat semacam garis lurus dengan lingkaran di atasnya, dan memiliki empat garis lurus lain yang lebih kecil yang terhubung dengan garis lurus utama. Dan kau tahu apa itu?
Yang memberi warna pada kehidupan kami. Mengusap peluh kami dengan canda. Menyambut ketika kami sejenak bebas dari penat. Membawa kami pada kebahagiaan keluarga yang sesungguhnya.

Sempurna sudah gambar itu.

Tapi kini kembali kosong, kertas itu masih putih sempurna. Bahkan saya tak bisa menggambar, Tuhan.

27 Oktober 2012, 17:24 WIB
Picanto G
Dalam perjalanan menuju Brebes

Celoteh 'Kerupuk'

*Malam tadi, saya tidak sengaja membuka-buka file di laptop. Niatnya sih, untuk mencari beberapa hasil kerja. Namun, tak disangka tulisan ini muncul di antara sekian banyak 'simpanan'. Maka, kuputuskan untuk mem-publish-nya di blog. Bukan apa-apa, hanya berniat menjaga supaya tidak punah. Hehe. 
Siapa sangka kerupuk menjadi makanan (kesukaan) saya dan beberapa pecinta lainnya? Kerupuk yang tidak baik bagi kesehatan, kerupuk yang hanya begitu-begitu saja, kerupuk yang memang tidak terlihat istimewa, kerupuk yang murahan, dan berbagai statement buruk lain yang bisa dilontarkan untuk makanan macam kerupuk. Akan tetapi, walaupun ada seratus macam statement seperti itu, saya tidak yakin akan menyurutkan niat saya untuk makan kerupuk.
Bagi saya, kerupuk menjadi salah satu ‘sumber’ rasa makanan. Pernah merasakan makanan hambar ‘kan? Nah, makanan hambar akan menjadi sangat nikmat ketika dikombinasikan dengan kerupuk. Itulah alasan utama saya untuk selalu menyediakan kerupuk di ‘meja makan’.
Menurut KBBI, kerupuk adalah makanan yang dibuat dari adonan tepung dicampur dengan lumatan udang atau ikan, setelah dikukus disayat-sayat tipis atau dibentuk dengan alat cetak dijemur agar mudah digoreng. Dan saya tidak menyangka bahwa kata kerupuk itu berhomonim. Masih merujuk ke KBBI, arti kedua untuk kata kerupuk adalah kebingungan; tergopoh-gopoh; gugup. Lalu, apa hubungannya antara arti pertama dan kedua itu?
Saya berniat ‘iseng’ untuk menarik benang merah antara keduanya. Walaupun saya tahu bahwa kata yang berhomonim itu wajar jika memiliki arti yang jauh berbeda. Seperti kata bisa yang saya yakin antara arti pertama, ‘dapat’ dan arti kedua, ‘racun’ itu lebih sulit dicari titik temunya.
Berdasar pengalaman saya yang juga sudah saya ceritakan sebelumnya, salah satu alasan utama saya makan kerupuk adalah penambah rasa. Saya tidak pandai mengira-ngira seberapa banyak saya harus menambahkan garam, kecap, merica, dan semacamnya dalam makanan saya. Saya adalah orang yang terima jadi. Nah, untuk mengatasi kebimbangan saya dalam masalah rasa makanan, kerupuk menjadi salah satu jalan keluarnya.

Mungkin itulah garis penghubung antara kerupuk satu dan dua bagi saya. Kebingungan, tergopoh-gopoh, gugup akan rasa makanan membuat saya harus lari ke penambah rasa yang dibuat dari adonan tepung dicampur dengan lumatan udang atau ikan. Begitu pula yang saya lakukan saat ini: kebingungan akan tema tulisan menjadikan saya harus berbicara tentang kerupuk!

2 September 2013

Tanpa Kaki

Sudah lama aku terdiam di sini; menatap punggungmu yang sudah hampir pergi.

Semakin lama kubuat kubangan di bawah kaki. Semakin lama semakin besar, aku akan tertahan di sini. Sembari menatap punggungmu yang tinggal se-titik.

Lalu hilang, kau berlari. Aku terseok, tak kuat menatap mentari. Tapi mataku jeli, menatap punggungmu yang menyisakan bayang-bayang sunyi.


________
Jika ada waktu untuk bertemu kembali, mungkin aku akan berlari. Ke belakang. Ya, berlari ke belakang. Tak ada nyali untuk menjumpaimu, sang Suksi.