4 November 2020

Amburadul. Luapan Kalimat dalam Pikiran.

Bismillahirrohmanirrohim,

Lama gak menulis, rasa-rasanya sudah kaku pikiran gitu mau mengawali nulis lagi. Tapi dalam benak sejatinya tak pernah berhenti berpikir. Nah setelah sekian lama vakum curhat, kok tiba-tiba pengen cerita-cerita lagi di blog ini. Hasratnya saat ini besar, entah kalau besok-besok muncul malesnya lagi. Hadeh.

Sebenernya selama ini juga kadang nulis. Cuma kesebar ke banyak tempat. Ada instagram, facebook, belum lagi status Whatsapp yang sesekali cukup mewakili hati untuk meluapkan unek-unek. Ada pula pulpen dan kertas, meski hanya untuk coret-coret gak penting. Atau sesekali juga menulis panjang sih. Tapi gak se-excited dulu, yang dikit-dikit ambil pena atau buka laptop; untuk menulis dalam rangka melampiaskan rasa.

Hari ini rasanya pengen mengulang masa-masa itu. Dalam pikiranku tuh kayak buanyaak kalimat-kalimat berjalan. Amburadul saking banyaknya yang pengen ditulis. Jadi entah ke mana berakhirnya tulisan ini pun aku nggak nyangka deh kayaknya.

And, did you know? Aku menulis paragraf demi paragraf dalam tulisan ini tanpa jeda. Benar-benar tanpa jeda. Tak dibaca ulang juga. Jadi kalau ada sesuatu yang aneh gitu ya maap ya. Tombol backspace berfungsi sih, tapi untuk menghapus kata yang baru saja kutulis dan kusadari kesalahan atau typo-nya.

Mau sampai mana? Nggak tau. Yang penting menuliskan kalimat yang muncul dalam pikiran. Mungkin akan lebih beraturan di postingan berikutnya. Jadi sebenarnya, postingan ini takperlu dibaca pun tak apa-apa. Kayak baju lebaran yang nggak harus baru. Hahaha. Ini mah lagunya Dea Ananda.

Jadi inget Sherina. Dia menikah beberapa hari lalu. Mendadak dan takbanyak orang tau. Yang kurasa, Sherina baru booming lagi karena mau ada film baruuuu tapi rasa jaduuul. Yak, Petualangan Sherina 2. Pemainnya masih sama pula! Duh ga sabar pengen nonton, meski kuyakin pun gak bakal merogoh kocek untuk nonton di bioskop. Paling nunggu di TV atau Youtube, atau spoiler2 filmnya ntar. Hehehe. Apalagi paksuami tipe orang yang ga suka nonton bioskop hahaha.

Nahkaaan aku juga belum cerita kalau sekarang aku udah punya suami. Bahkan nyaris punya anak! Masih hamil menuju 7 bulan gaesss. Panjang ceritanya kalau juga diceritakan di satu postingan ini, wkwk. Jadi sebenernya buanyaaaak yang pengen aku keluh kesah mmmmm jangan keluh kesah deh bahasanya, biar gak terkesan mengeluh gitu, nggak baik to. Toh aku juga sedang tidak mengeluh, haha, apa deeh. Yaa intinya aku pengen cerita-cerita banyak hal tentang apa aja yang udah terjadi dalam hidupku beberapa tahun ini. Maybe beberapa hari kemudian kalau pas udah mood lagi haha.

Yadah, see ya! Doakan semoga mood menulis-ku selalu baik. Tengkyuuu sudah membacaa. Love love.

20 Agustus 2019

10 Kesalahan Ejaan? Ngakak!

Mungkin sayurnya bisa buat mandi? Hihi


Mungkin banyak jin yang barusan melakukan operasi...

Iiiih kiju deh akuuu :D

Agak gitu-gitu gimanaaa gitu xD

Mungkin ini yang dimaksud dengan berapa harga pintu? Hehe

Inget, kalau mau kecelakaan ditunda dulu yaa.

Goyeng kanan goyeng kiyi

Ssst, tuh anak-anak aja tau...

Cumcum itu sejenis binatang laut kan?

Jadi, mbaknya itu namanya Ninig. Ih, gitu aja ga tau.

 

14 September 2017

Transliterasi Arab ke Latin

 Pengertian

Transliterasi = alih aksara = mengubah satu abjad ke abjad yang lain

Transliterasi Arab-Latin = mengubah aksara Arab menjadi aksara Latin

 Pedoman

Surat Keputusan Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 158/1987 dan 0543 b/U/1987 Tanggal 22 Januari 1988

 Aturan Penulisan

Konsonan

 

Vokal Panjang

Vokal Rangkap

ث

ص

 

ﹷﺎ = ā

ﹷﻲ = ai

ح

خ

kh

 

ﹻﻲ = ī

ﹷﻮ = au

ذ

ż

ظ

 

ﹹﻮ =

 

ض

ط

 

غ

g

ء

 

ع

 


12 Desember 2015

Ibu yang Kubenci Tak Akan Pernah Sama Dengan Ibu yang Kalian Cintai


Aku benci ibuku.

Hanya itu kalimat yang bisa aku tuangkan saat Pak Rasya meminta kami menuliskan ungkapan terima kasih pada ibu di hari spesial ini. Meski tepat di hari ini pula, ibuku berulang tahun. Ah, ya:

Selamat ulang tahun, Bu.

Saat teman-teman menulis segepok kisah haru mereka bersama ibunya, aku mentok. Tanganku justru hanya mampu bermain pena tanpa merangkai kalimat lain. Bayanganku tentang ibu, sudah buntu.

Yang aku tahu, dulu, masaku kanak-kanak, ibu tak pernah di rumah. Oke, aku haluskan kalimatnya. Ibu jarang di rumah. Beliau hanya seringkali memastikan bahwa keadaanku, menurutnya, baik-baik saja. Lalu ibu akan menyuapiku setiap pagi setiap hari sebelum ia pergi, memesan lauk makan siangku pada tetangga untuk kemudian diantarkan ke rumah saat aku pulang sekolah, …

…, lalu …

Ah, sungguhkah hanya itu yang bisa aku ingat tentang ibuku atas kebaikannya?

Sementara aku selalu merasa jengah atas sikap yakinnya bahwa aku baik-baik saja. Nyatanya, nyaris setiap malam aku harus berjuang sendirian melawan ketakutan. Riwayat penyakit psikologisku tak pernah lumpuh dari ingatan hingga kini. Dan ibuku, hanya percaya bahwa aku tumbuh dengan kejiwaan yang baik-baik saja.

Maka, masih perlukah aku mengingat-ingat tentang kebaikannya yang justru tidak dapat aku temukan?

Kala ibu membaca tulisan ini nanti, mungkin ia akan menyadari bahwa anaknya yang dikira mencintainya, ternyata tidak sedang baik-baik saja. Aku memang sedemikian hina. Terpikir untuk memuji Ibu saja tidak. Namun, apakah beliau akan mengutukku menjadi batu? Aku kira juga tidak. Toh dunia sudah tak se-mistis itu kan?

Tapi doa ibu masih mistis. Dan pepatah surga di telapak kaki ibu, sepertinya masih berlaku. Oleh sebab itu, aku selalu berusaha mengikuti apapun keinginan ibu. Walaupun terkadang rasa ikhlas itu seringkali tak ada, jalani saja. Ibu kata ya, ikuti. Ibu kata tidak, turuti.

Itu sekarang.

Dulu, sikap egoisku membendung tak tertahankan. Ah, semua orang juga, aku yakin, mengalami masa egois ini. Ibuku? Juga egois setengah mati. Kalau ibuku tak egois, mungkin kami tak akan pernah bertengkar sehebat malam itu. Pun tak pernah aku akan mendapatkan keeksotisan malam remang-remang kota sebab aku kabur dari rumah. Nah, pada bagian ini seharusnya aku patut mengucapkan terima kasih.

Banyak ibu-ibu kata, ibu juga manusia. Aku tak percaya. Mereka lebih dari sekedar manusia. Segala maunya, dituruti semesta. Anak-anak pembangkang saja terbukti nista hidup di dunia. Entah di akhirat kelak: mungkin bakal gosong berkali-kali, ditendang-tendang kaki, dihujat pakai api.

Harus ya, aku pakai alasan itu untuk mencintaimu, Bu?

Aku jadi penasaran dengan ibu-nya teman-teman. Sebaik apa ibu mereka, sampai-sampai tak ada seorang pun yang lengah dari kertas di hadapannya. Sebagian mengusap air mata, sebagian lagi tersenyum-senyum, sebagian justru tertawa. Mungkin mengingat momen kebahagiaan bersama ibu mereka.

Berbicara tentang momen, aku berbahagia bersama ibu sewajarnya saja. Bagiku tak ada yang istimewa. Saat aku ulang tahun, ibu hanya membuat nasi kuning yang kemudian dibagikan ke tetangga-tetangga. Saat aku naik kelas, tak sekalipun ibu mengucapkan selamat kepadaku. Saat aku menang berbagai lomba, ibu hanya perlu mendengar berita itu dari rekan’kerja’-nya. Saat aku pergi ke desa sebelah untuk melanjutkan studi, ibu cukup menitip pesan pada tetangga agar memberiku beberapa lauk untuk bekal makanku beberapa hari ke depan. Saat aku sudah di kota seberang? Menelepon saja sudah alhamdulillah.

Memang, ibuku tak sama dengan ibumu. Dan aku benci itu.

Aku benci saat ibu mereka menelepon dan menanyakan kabar. Memperhatikan dengan saksama setiap ucapan yang keluar dari bibir sang anak, lalu seakan menepuk pundak untuk menentramkan kegelisahan putranya. Aku benci saat ibu mereka tak percaya bahwa anaknya bisa melakukan segala hal yang ada di hadapannya, sebab ibuku selalu percaya bahwa aku tak pernah butuh bantuan ibu. Aku sungguh membenci ibuku.

Aku benci ibuku yang sangat percaya bahwa hatiku sekeras baja, hasratku sebesar angkasa, mimpiku seluas samudera. Aku benci ibuku yang seakan tak pernah mengkhawatirkan anaknya akan menjadi apa. Begitu benci saat ia yakin bahwa aku benar-benar bisa menanggung segala beban yang diberikan oleh Tuhan. Aku benci ibuku yang amat percaya bahwa aku-baik-baik-saja.

Ibu, aku rindu membuatmu khawatir kepadaku.

Tiba-tiba Pak Rasya mendekat, membaca tulisanku yang hanya tiga kalimat itu. Menyipit, memastikan bahwa ia tak salah baca. Aku takut-takut mendengar suara paraunya, “Berdiri, Cha.”

Menurut, aku berdiri. (Bukankah aku memang penurut, pun kepada ibuku?)

Pak Rasya mengambil kertasku, lalu pergi ke luar kelas. Aku masih berdiri di tempat, tanpa sekalipun berani berkutik sembari dipandangi kawan seisi kelas. Hening. Sesaat kemudian, teman-temanku melanjutkan tulisan haru mereka.

Aku tetap berdiri. Berdiri sampai bel sekolah itu berbunyi.


Sementara di balik jeruji besi, sang ibu sedang berdiri, menanti bel sekolah berbunyi.


____________________________________
* Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DearMama yang diselenggarakan Nulisbuku.com dan Storial.co


7 Mei 2015

Pukpukself

Aku tak boleh galau. Sebab aku masih punya Allah yang menemani setiap langkahku :)

30 April 2015

.

Ombak tak pernah menyadari kemana ia melangkah. Debu tak pernah tau kemana ia akan menghinggap. Begitu pula hati, yang tak pernah tau kemana ia akan tertambat.

Ya, aku tak punya kuasa atas rasa cintaku padamu :")

21 April 2015

Rindu Kami

Kalau aku rindu, sudah tentu itu rinduku padanya.

Kami berjalan beberapa hari. Ia di jalannya, aku di jalanku. Ia mengadu pada-Nya, tak beda pula denganku. Ia tak ucap rasa-nya, aku juga begitu. Namun, kami berjalan bersama.

Bagaimana caranya? Sekali lagi, ia di jalannya, sedangkan aku di jalanku. Berharap Tuhan membuatkan persimpangan untuk pertemuan kami. Sampai kemudian kami benar-benar berjalan bersama.

Pertigaan-pertigaan kami lewati berulang kali. Menemukan sosok menarik untuk menyelip diri, termangu menatap keindahan sosok itu. Tapi Tuhan belum selesai membuat jalan. Kami harus mencari persimpangan yang benar. Kami harus saling menemukan.

Saat ini, entah aku sedang di jalan yang mana. Aku bertemu dengan pertigaan yang nyaris seperti persimpangan itu, tak tau benar atau tidak. Sosok itu muncul. Tak tau juga itu adalah ia atau bukan. Adalah kami atau hanya aku dan ia. Bukan kami.

Tapi aku merindunya, merindu sosoknya, merindu kehadirannya, meratap kekosongannya, mengharap keadaannya, membayang asa bersamanya, -sungguh aku takut dia adalah bukan ia yang Engkau mau, Rabbi.

Kami berjalan bersama, melakukan perjalanan untuk menemukan jalan kebenaran-Mu. Maka tunjukkanlah, Ya Allah :")

30 Maret 2015

Perempuan Sempurna dan Lelakinya

Menjadi perempuan yang sempurna, tidak hanya mampu memberikan putra/i yang baik lagi sholih/ah. Sepatutnya ia pantas untuk dicintai, pantas untuk diberi penghargaan tinggi, diharap-harap oleh banyak orang, mampu menjelma menjadi bidadari maupun pangeran dalam satu waktu. Dan seluruh wanita ingin dirinya seperti itu.

Dimana posisi lelaki?
Mereka adalah penguat dan penyeimbang sang istri. Siapa yang mencintai perempuan pertama kali, jika bukan sang suami? Kepantasan yang melekat pada perempuan itu, adalah berkat lelaki. Maka keduanya amat bijaksana jika mampu berjalan beriringan, untuk 'menciptakan' putra/i yang baik lagi sholih/ah.

Menapaki kehidupan untuk mencapai visi bersama. Menjalani rintangan untuk kebahagiaan semesta. Mengharap ridho-Nya untuk keabadian hati. Semoga kita dihadapkan pada jalan terbaik-Mu, Rabbi.

27 Maret 2015

Aku (Tidak) Pendiam

Kita memperlakukan orang lain dengan cara yang berbeda-beda.

Kawan SD-ku akan berujar bahwa aku adalah anak baik-baik yang tak banyak gaya, apalagi banyak kata. Kawan SMP, mereka akan mengucap bahwa aku pendiam tak pandai menyapa. Kawan MA, seketika mereka akan bilang bahwa cerewetku tak keruan. Kawan S1, duh entah apalagi yang akan mereka katakan, mungkin tak akan berkomentar tentangku. Sementara kawan S2, banyak yang bilang bahwa aku pandai meski banyak bicara.

Pandangan orang lain tentang kita bermacam-macam, ya. Bagiku, aku berlaku demikian sebab aku diperlakukan demikian. Aku diam sebab aku tak berkehendak dengan obrolan yang didengungkan, sementara aku akan berkata paling keras jika aku amat tertarik dengan perbincangan.

Lain hal jika ada sesuatu yang melatarbelakangi aku bertindak demikian. Kadang, perlakuan seseorang yang tak sengaja, telah menyentil hati terdalam. Itu sebabnya kita menjadi pemikir sebelum bertutur, yang kemudian berdampak pada cara kita berlaku.

Tak masalah orang akan menilai kita seperti apa, yang penting lakukan sesuai kata hati. Sebab hati yang baik akan menunjukkan jalan yang baik pula :)

26 Maret 2015

Doa saat Menentukan Pilihan

Ya Allah, jernihkan fikiranku dalam berunding dengan orang lain maupun dengan diri sendiri. Betapa manusia amat condong pada hawa nafsunya, maka kumohon: singkirkan sejenak. Lalu, hadapkan aku pada jalan terbaik-Mu. Agar aku menjadi hamba yang taat lagi murni beriman atas Engkau.

Aamiin.

Hai Manusia Gagap, Kamu Tidak Sendiri!

Aku selalu salut dengan orang-orang berkemampuan interpersonal yang baik, atau kalau boleh, katakan rasa ini sebagai bentuk iri. Mungkin kamu juga, merasa bahwa bercengkerama dengan orang lain adalah sesuatu yang mendebarkan. Memilih mundur dari keramaian untuk menghindari obrolan. Lebih baik bercakap via tulisan jika memang memungkinkan.

Aku juga begitu.

Kata orang, dunia ini amat respek dengan orang-orang yang mampu berpidato. Sebaliknya, manusia gagap bisa jadi tak mendapat tempat. Semua amat bergantung pada kemampuan berkomunikasi. Akan dikata anak baik, jika mampu mengkomunikasikan sesuatu dengan baik. Bila tidak, uh, layak disebut anak tak tau diri!

Kejam ya?

Padahal bisa jadi perlakuan orang itu bukan benar-benar gagap, melainkan pura-pura. Ia hanya ingin memperlakukan orang lain yang kadang sok berkuasa. Ah intinya, ia hanya berpura-pura. Kalau begini, sudah lain soal.

Yang jadi masalah adalah, orang yang benar-benar gagap. Aku tak gagap, aku hanya takut berbicara di tempat yang belum kukenal (gagap, red). Terkadang diiringi dengan takut bertindak. Khawatir salah, khawatir akan dipermalukan, khawatir dijadikan tontonan. Dan aku benci itu.

Mungkin kamu juga. Itu artinya, aku tidak sendirian. Kita sama-sama takut salah. Kita sama-sama takut dipermalukan. Kita sama-sama takut dijadikan tontonan. Kita sama-sama bukan manusia yang pandai berpidato. Kita sama-sama makhluk intrapersonal. Sekali lagi, aku (atau kamu) tidak sendiri! :)

25 Maret 2015

Tipu-Tipu Tukang Tipu

Sudahi, sudahi!
Tetiba aku ingin sendiri, sehingga menutup seluruh akses menuju ruanganku. Aku enggan direcoki. Aku malas berbasa-basi. Bahkan untuk menjawab tawamu saja aku nyaris tak sudi.

Sudahi!
Abaikan basa-basimu. Katakan seperlunya. Mari kita manfaatkan kemampuan kita dalam menggunakan maksim kuantitas. Sampaikan seperlunya, lantas kujawab sesukaku.

Kita hidup di jaman orang-sokpeduli-dengan-orang-lain. Menganggap segala yang tak kita setujui adalah aib. Sopan santun yang katanya dijunjung tinggi, malah menjadi bumerang bagi diri sendiri. Kemudian, digunakan untuk menjatuhkan orang lain.

Katanya sih, liberal. Tapi segala laku orang lain, dikomentari. Diperkatakan ketidaksetujuannya. Lantas, bagian mana yang liberal? Meski diembel-embeli dengan kalimat, "saya sih tak masalah", yang justru menjadi tanda oposisi.

Aku ragu dengan aroma hidup ini. Wangi, tapi busuk. Bau, tapi merekah. Anjing, tapi kupu-kupu. Gagak, tapi kura-kura. Semua serba tipu-tipu. Dan hari ini, aku hanya sedang butuh waktu untuk memoles ke-muak-an ku.

Ijinkan aku muntah batu.

23 Maret 2015

Teman Malam

Lucu rasanya. Gak punya pacar, tapi akhir-akhir ini selalu ada yang nemani berbincang menjelang senyap. Beda hari, beda orang. Ganti hari, ganti topik. Jarang-jarang lho, aku begini. Haha.

Ini cara Allah membahagiakan dan meramaikan malam-malamku lho :D

22 Maret 2015

Sebuah Teknik dalam Metode Perjodohan

Gimana sih, rasanya dikenalkan dengan lawan jenis yang direncanakan akan dijodohkan dengan kita?

Lalu, apa yang seharusnya dilakukan oleh sepasang manusia itu?
Berpura-pura tidak tahu, bahwa perkenalan itu adalah sebuah ikhtiar menemukan pasangan hidup? Lalu, menjalin pertemanan dengan penuh kepalsuan? Berusaha berbaik sikap untuk mendapatkan simpati? Beuh, rasanya kok gak asik.

Aku setuju dengan metode perjodohan dalam rangka menemukan pasangan hidup. Seperti halnya penelitian ilmiah, setiap metode wajib diiringi dengan teknik-teknik tertentu untuk mendapatkan hasil yang maksimal sesuai dengan tujuannya. Nah, teknik apa yang seharusnya dijalankan oleh para pasangan calon yang dijodohkan itu?

Bagi saya, sama-sama tau tujuan perkenalan adalah hal yang penting. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya kepura-puraan. Kalau memang tak suka, bisa katakan. Kalau memang tak cocok, sila uraikan.
Ini yang terjadi pada saya. Sebab pertemanan kami tak pernah membincang tentang itu, maka ketika percakapan berada di ujung tamat kiamat, saya tak bisa berkata apapun. Hubungan kami pun entah akan jadi apa. Aku hanya takut, rasa canggung akan tetap menjadi perasaan kami berdua. Kemudian berpura-pura untuk tidak pernah saling mengenal. Cih.
Lalu saya membayangkan, andai saja di awal perkenalan kami mengutarakan maksud masing2, akan lebih enak untuk kami bisa melepas rasa. Saya bisa mengatakan maaf karena tak bisa melanjutkan perjodohan ini dengan segala alasannya. Pada akhirnya, clear-lah sudah. Masing-masing dari kami tak perlu kikuk jika bertemu lagi nanti. Bahkan bisa jadi kelak akan tertawa terbahak bersama keluarga aku dan dia.

Itu teknik yang pertama.

Teknik yang kedua, bisa jadi memang tak mengutarakan tujuan pertemanan itu. Berhubung saya saat ini tidak setuju dengan teknik tersebut, tak akan saya jelaskan sisi positif dan negatifnya. Daripada nanti ujung-ujungnya ngejelekin teknik ini, kan? Hehe.

Teknik berikutnya? Tunggu ulasan selanjutnya, jika memang saya berminat ya. Sebab saya baru melewati tahap yang pertama. Dan, tulisan ini sepenuhnya adalah bagian dari pengalaman saya :D

Salam cari jodoh! Haha.

(Kapan) Mimpiku akan Terwujud

Aku berniat membuat sebuah komunitas sosial, yang bergelut bersama buku dan anak-anak. Sederhana misinya, yakni mengajak anak-anak untuk membaca.

Hari ini, beberapa hal intern yang diperlukan untuk membentuk komunitas itu telah aku lewati. Namun lagi-lagi, terkendala dengan kemampuan interpersonalku yang tak begitu bagus. Ada rasa enggan menceritakan segala upaya dan mimpi.

Lalu aku terpaku memandang tumpukan buku di sudut ruang. Sungguh aku tak cukup nyali untuk memulai. Allahu rabbi. Laa haula walaa quwwata, illa billahil 'aliyyil 'adzim.

21 Maret 2015

Iya, Aku Pengen Nikah!

Celetukan temen, "yaudalah mbak, mau sampai kapan? Mbak udah gede, harus punya target menikah. Buka dirilah! Masak iya mbak mau, nikah di umur yang berlebih?"

Sederhana, tapi nusuk.

Bukannya aku ga mikir tentang nikah, jodoh, calon suami, calon pacar, calon pasangan, lelaki -apapunlah istilah tetek bengek tentang itu.

Beberapa waktu lalu, aku dikenalkan dengan seseorang. Sebut saja ini dengan aktivitas: rencana perjodohan. Namun entah mengapa, meski aku sudah memikirkan segala hal tentang itu, nyatanya aku belum merasa siap. Ketika pria kenalan itu menghubungiku, menemuiku, dan berbasa-basi; aku merasa jengah. Antara bosan dan gak nyaman. Padahal beberapa saat sebelum aku mengenalnya, aku telah mengutarakan keinginan menikah-ku pada beberapa kawan dekat. Tidak ngotot, tidak pula lunglai. Hanya berucap, "iya, aku pengen nikah" sesekali, seperti yang dilakukan banyak wanita di usia 20-an. Lalu entah mengapa ketika saatnya nyaris mendekat, aku justru menjauh.

Aku percaya lelaki sang jodoh akan memberikan keyakinan penuh pada hati, bahwa ia memang telah dipilihkan-Nya untukku. Dan ini yang tidak aku dapat di pria tersebut. Bukan. Bukan karena ia memperlakukanku dengan buruk. Justru pria itu adalah lelaki baik, pintar, cerdas, bijak, tangguh, pemberani, ramah, sesekali humoris, islami, dan bisa jadi juga menjadi pujaan banyak wanita. Tapi bila rasa yakin itu tak muncul dalam hati, untuk apa aku melanjutkan perjodohan ini? Maka bismillah, kubatalkan, kurenggangkan hubunganku dengannya. Meski aku terus berharap, semoga jalinan silaturahmi kami tetap terjaga.

Semakin hari, pikirku semakin tak keruan. Berbagai cara menghilangkannya, berbagai cara pula ia kembali. Aku berulang kali terpikir, persis seperti yang temanku bilang. Hiks, rencana untukku membuka diri pada pria sepertinya memang belum berhasil. Meski harus kuakui, usahaku ini sedikit banyak telah menunjukkan peningkatan. Ya, mungkin belum saatnya dan barangkali aku memang harus berusaha lebih keras.

Ogahlah ya, menikah di umur yang sudah berlebih? Gak kebayang dengan omongan orang-orang. Toh aku juga ga yakin dengan diriku kelak. Sekarang saja rasanya sudah pengen ditemani, ditunggui. Apalagi beberapa tahun kemudian, ya?

Maka mimpiku, menikah di usia 25 tahun. Itu artinya, aku punya waktu sekitar satu setengah tahun lagi untuk menemukan lelaki pilihan-Nya. Bismillah, semoga kita semua didekatkan dengan jodoh terbaik kita masing-masing ya. Aamiin :)

20 Maret 2015

Allah yang Menuntaskan Janjimu, melalui Mimpi (2)

Aneh-aneh saja dengan kejadian-kejadian hidup ini.

Baru saja aku mengepos tulisan tentangnya, ia membalas pesanku. Tak dinyana, ia ingat dengan perkataan (janji, red) yang aku rasa diucapkannya dengan spontan. Dan kau tau, apa yang ia katakan?

"Yaa, (melalui) mimpi, boleh tidak?"

Aku tertawa. Bukankah itu sudah terjadi, tadi malam? :D

Allah yang Menuntaskan Janjimu, melalui Mimpi (1)

Malam tadi aku bermimpi tentang seseorang yang pernah aku kagumi. Bukan karena ia bijaksana atau hal lain yang juga membuatku kagum dengan orang lain selain dia, tetapi sebab ia adalah barisan pertama yang memberiku harapan. Barisan pertama teman-temanku yang memberiku perhatian. Sebab ia lelaki, maka aku tak patut pula memberi perhatian amat lebih kecuali benar-benar aku menginginkan hidupnya ada padaku. Ini komitmenku, tak perlu disanggah siapapun.

Kemudian saat aku terbangun, aku sadar bahwa mungkin ini adalah barisan hayalanku yang belum terwujud. Maka aku tersenyum, Tuhan mengabulkannya melalui mimpi. Ia bukan muhrimku, maka aku tak boleh berjalan hanya berdua bersamanya. Kecuali dalam mimpi, bukan? :D

Kalau kata orang mimpi adalah alam bawah sadar, maka entah mimpi ini apa artinya. Aku memang baru saja bertemu dengannya secara nyata, dan ia kembali berhasil membuatku melongo atas sikapnya. Suatu kali waktu itu, ia berkata akan menemuiku; mengajakku berjalan-jalan untuk sekedar melepas penat pembelenggu hidup.

Dan (kalau boleh dikatakan sebagai) janji-nya itu, terlaksana malam tadi

lewat mimpi.

Maka, aku akan menganggap janjinya telah lunas sehingga aku tak perlu merengek untuk hal tak penting itu. Allah yang telah menuntaskan janji. Sebab akan ada sederet rasa bersalah jika memang pada akhirnya aku harus pergi berdua bersamanya...

19 Maret 2015

Menggali Cinta

"Menempa untuk terus menempa, kembali menempa untuk mampu menempa. Hingga jiwa tak mampu lagi hidup untuk menempa."

Bismillah, klub belajar Linguistik sudah satu langkah. Masih perlu jutaan langkah untuk ribuan tempaan ilmu. Memperdalam keilmuan, memperluas pengetahuan, sembari menebar kebaikan.

Sementara itu, aku masih rindu buku, anak-anak, dan calon imamku.

18 Maret 2015

Aku yang Lain

Ketika semua terasa redup, aku ingin menjadi diriku yang terang.
Meski kadang saat semua terang, aku memilih untuk meredup.
Tak ada yang perlu disalahkan.
Sebab terkadang kita hanya butuh sesuatu-yang-lain.
Menjadi yang-lain.
Untuk dianggap seperti yang-lain.
Bisa jadi sebagai ungkapan benci terhadap konsistensi, mungkin juga begah terhadap carut marut hidup yang kita buat sendiri.
Maka biarkan aku menjadi yang-lain.
Mencampakkan yang lain untuk kemudian menjadi yang-lain.

Surakarta, 18 Maret 2015.