Itu sekarang.
Harus ya, aku pakai alasan itu untuk mencintaimu, Bu?
____________________________________
Ombak tak pernah menyadari kemana ia melangkah. Debu tak pernah tau kemana ia akan menghinggap. Begitu pula hati, yang tak pernah tau kemana ia akan tertambat.
Ya, aku tak punya kuasa atas rasa cintaku padamu :")
Kalau aku rindu, sudah tentu itu rinduku padanya.
Kami berjalan beberapa hari. Ia di jalannya, aku di jalanku. Ia mengadu pada-Nya, tak beda pula denganku. Ia tak ucap rasa-nya, aku juga begitu. Namun, kami berjalan bersama.
Bagaimana caranya? Sekali lagi, ia di jalannya, sedangkan aku di jalanku. Berharap Tuhan membuatkan persimpangan untuk pertemuan kami. Sampai kemudian kami benar-benar berjalan bersama.
Pertigaan-pertigaan kami lewati berulang kali. Menemukan sosok menarik untuk menyelip diri, termangu menatap keindahan sosok itu. Tapi Tuhan belum selesai membuat jalan. Kami harus mencari persimpangan yang benar. Kami harus saling menemukan.
Saat ini, entah aku sedang di jalan yang mana. Aku bertemu dengan pertigaan yang nyaris seperti persimpangan itu, tak tau benar atau tidak. Sosok itu muncul. Tak tau juga itu adalah ia atau bukan. Adalah kami atau hanya aku dan ia. Bukan kami.
Tapi aku merindunya, merindu sosoknya, merindu kehadirannya, meratap kekosongannya, mengharap keadaannya, membayang asa bersamanya, -sungguh aku takut dia adalah bukan ia yang Engkau mau, Rabbi.
Kami berjalan bersama, melakukan perjalanan untuk menemukan jalan kebenaran-Mu. Maka tunjukkanlah, Ya Allah :")
Menjadi perempuan yang sempurna, tidak hanya mampu memberikan putra/i yang baik lagi sholih/ah. Sepatutnya ia pantas untuk dicintai, pantas untuk diberi penghargaan tinggi, diharap-harap oleh banyak orang, mampu menjelma menjadi bidadari maupun pangeran dalam satu waktu. Dan seluruh wanita ingin dirinya seperti itu.
Dimana posisi lelaki?
Mereka adalah penguat dan penyeimbang sang istri. Siapa yang mencintai perempuan pertama kali, jika bukan sang suami? Kepantasan yang melekat pada perempuan itu, adalah berkat lelaki. Maka keduanya amat bijaksana jika mampu berjalan beriringan, untuk 'menciptakan' putra/i yang baik lagi sholih/ah.
Menapaki kehidupan untuk mencapai visi bersama. Menjalani rintangan untuk kebahagiaan semesta. Mengharap ridho-Nya untuk keabadian hati. Semoga kita dihadapkan pada jalan terbaik-Mu, Rabbi.
Kita memperlakukan orang lain dengan cara yang berbeda-beda.
Kawan SD-ku akan berujar bahwa aku adalah anak baik-baik yang tak banyak gaya, apalagi banyak kata. Kawan SMP, mereka akan mengucap bahwa aku pendiam tak pandai menyapa. Kawan MA, seketika mereka akan bilang bahwa cerewetku tak keruan. Kawan S1, duh entah apalagi yang akan mereka katakan, mungkin tak akan berkomentar tentangku. Sementara kawan S2, banyak yang bilang bahwa aku pandai meski banyak bicara.
Pandangan orang lain tentang kita bermacam-macam, ya. Bagiku, aku berlaku demikian sebab aku diperlakukan demikian. Aku diam sebab aku tak berkehendak dengan obrolan yang didengungkan, sementara aku akan berkata paling keras jika aku amat tertarik dengan perbincangan.
Lain hal jika ada sesuatu yang melatarbelakangi aku bertindak demikian. Kadang, perlakuan seseorang yang tak sengaja, telah menyentil hati terdalam. Itu sebabnya kita menjadi pemikir sebelum bertutur, yang kemudian berdampak pada cara kita berlaku.
Tak masalah orang akan menilai kita seperti apa, yang penting lakukan sesuai kata hati. Sebab hati yang baik akan menunjukkan jalan yang baik pula :)
Ya Allah, jernihkan fikiranku dalam berunding dengan orang lain maupun dengan diri sendiri. Betapa manusia amat condong pada hawa nafsunya, maka kumohon: singkirkan sejenak. Lalu, hadapkan aku pada jalan terbaik-Mu. Agar aku menjadi hamba yang taat lagi murni beriman atas Engkau.
Aamiin.
Aku selalu salut dengan orang-orang berkemampuan interpersonal yang baik, atau kalau boleh, katakan rasa ini sebagai bentuk iri. Mungkin kamu juga, merasa bahwa bercengkerama dengan orang lain adalah sesuatu yang mendebarkan. Memilih mundur dari keramaian untuk menghindari obrolan. Lebih baik bercakap via tulisan jika memang memungkinkan.
Aku juga begitu.
Kata orang, dunia ini amat respek dengan orang-orang yang mampu berpidato. Sebaliknya, manusia gagap bisa jadi tak mendapat tempat. Semua amat bergantung pada kemampuan berkomunikasi. Akan dikata anak baik, jika mampu mengkomunikasikan sesuatu dengan baik. Bila tidak, uh, layak disebut anak tak tau diri!
Kejam ya?
Padahal bisa jadi perlakuan orang itu bukan benar-benar gagap, melainkan pura-pura. Ia hanya ingin memperlakukan orang lain yang kadang sok berkuasa. Ah intinya, ia hanya berpura-pura. Kalau begini, sudah lain soal.
Yang jadi masalah adalah, orang yang benar-benar gagap. Aku tak gagap, aku hanya takut berbicara di tempat yang belum kukenal (gagap, red). Terkadang diiringi dengan takut bertindak. Khawatir salah, khawatir akan dipermalukan, khawatir dijadikan tontonan. Dan aku benci itu.
Mungkin kamu juga. Itu artinya, aku tidak sendirian. Kita sama-sama takut salah. Kita sama-sama takut dipermalukan. Kita sama-sama takut dijadikan tontonan. Kita sama-sama bukan manusia yang pandai berpidato. Kita sama-sama makhluk intrapersonal. Sekali lagi, aku (atau kamu) tidak sendiri! :)
Sudahi, sudahi!
Tetiba aku ingin sendiri, sehingga menutup seluruh akses menuju ruanganku. Aku enggan direcoki. Aku malas berbasa-basi. Bahkan untuk menjawab tawamu saja aku nyaris tak sudi.
Sudahi!
Abaikan basa-basimu. Katakan seperlunya. Mari kita manfaatkan kemampuan kita dalam menggunakan maksim kuantitas. Sampaikan seperlunya, lantas kujawab sesukaku.
Kita hidup di jaman orang-sokpeduli-dengan-orang-lain. Menganggap segala yang tak kita setujui adalah aib. Sopan santun yang katanya dijunjung tinggi, malah menjadi bumerang bagi diri sendiri. Kemudian, digunakan untuk menjatuhkan orang lain.
Katanya sih, liberal. Tapi segala laku orang lain, dikomentari. Diperkatakan ketidaksetujuannya. Lantas, bagian mana yang liberal? Meski diembel-embeli dengan kalimat, "saya sih tak masalah", yang justru menjadi tanda oposisi.
Aku ragu dengan aroma hidup ini. Wangi, tapi busuk. Bau, tapi merekah. Anjing, tapi kupu-kupu. Gagak, tapi kura-kura. Semua serba tipu-tipu. Dan hari ini, aku hanya sedang butuh waktu untuk memoles ke-muak-an ku.
Ijinkan aku muntah batu.
Lucu rasanya. Gak punya pacar, tapi akhir-akhir ini selalu ada yang nemani berbincang menjelang senyap. Beda hari, beda orang. Ganti hari, ganti topik. Jarang-jarang lho, aku begini. Haha.
Ini cara Allah membahagiakan dan meramaikan malam-malamku lho :D
Gimana sih, rasanya dikenalkan dengan lawan jenis yang direncanakan akan dijodohkan dengan kita?
Lalu, apa yang seharusnya dilakukan oleh sepasang manusia itu?
Berpura-pura tidak tahu, bahwa perkenalan itu adalah sebuah ikhtiar menemukan pasangan hidup? Lalu, menjalin pertemanan dengan penuh kepalsuan? Berusaha berbaik sikap untuk mendapatkan simpati? Beuh, rasanya kok gak asik.
Aku setuju dengan metode perjodohan dalam rangka menemukan pasangan hidup. Seperti halnya penelitian ilmiah, setiap metode wajib diiringi dengan teknik-teknik tertentu untuk mendapatkan hasil yang maksimal sesuai dengan tujuannya. Nah, teknik apa yang seharusnya dijalankan oleh para pasangan calon yang dijodohkan itu?
Bagi saya, sama-sama tau tujuan perkenalan adalah hal yang penting. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya kepura-puraan. Kalau memang tak suka, bisa katakan. Kalau memang tak cocok, sila uraikan.
Ini yang terjadi pada saya. Sebab pertemanan kami tak pernah membincang tentang itu, maka ketika percakapan berada di ujung tamat kiamat, saya tak bisa berkata apapun. Hubungan kami pun entah akan jadi apa. Aku hanya takut, rasa canggung akan tetap menjadi perasaan kami berdua. Kemudian berpura-pura untuk tidak pernah saling mengenal. Cih.
Lalu saya membayangkan, andai saja di awal perkenalan kami mengutarakan maksud masing2, akan lebih enak untuk kami bisa melepas rasa. Saya bisa mengatakan maaf karena tak bisa melanjutkan perjodohan ini dengan segala alasannya. Pada akhirnya, clear-lah sudah. Masing-masing dari kami tak perlu kikuk jika bertemu lagi nanti. Bahkan bisa jadi kelak akan tertawa terbahak bersama keluarga aku dan dia.
Itu teknik yang pertama.
Teknik yang kedua, bisa jadi memang tak mengutarakan tujuan pertemanan itu. Berhubung saya saat ini tidak setuju dengan teknik tersebut, tak akan saya jelaskan sisi positif dan negatifnya. Daripada nanti ujung-ujungnya ngejelekin teknik ini, kan? Hehe.
Teknik berikutnya? Tunggu ulasan selanjutnya, jika memang saya berminat ya. Sebab saya baru melewati tahap yang pertama. Dan, tulisan ini sepenuhnya adalah bagian dari pengalaman saya :D
Salam cari jodoh! Haha.
Aku berniat membuat sebuah komunitas sosial, yang bergelut bersama buku dan anak-anak. Sederhana misinya, yakni mengajak anak-anak untuk membaca.
Hari ini, beberapa hal intern yang diperlukan untuk membentuk komunitas itu telah aku lewati. Namun lagi-lagi, terkendala dengan kemampuan interpersonalku yang tak begitu bagus. Ada rasa enggan menceritakan segala upaya dan mimpi.
Lalu aku terpaku memandang tumpukan buku di sudut ruang. Sungguh aku tak cukup nyali untuk memulai. Allahu rabbi. Laa haula walaa quwwata, illa billahil 'aliyyil 'adzim.
Celetukan temen, "yaudalah mbak, mau sampai kapan? Mbak udah gede, harus punya target menikah. Buka dirilah! Masak iya mbak mau, nikah di umur yang berlebih?"
Sederhana, tapi nusuk.
Bukannya aku ga mikir tentang nikah, jodoh, calon suami, calon pacar, calon pasangan, lelaki -apapunlah istilah tetek bengek tentang itu.
Beberapa waktu lalu, aku dikenalkan dengan seseorang. Sebut saja ini dengan aktivitas: rencana perjodohan. Namun entah mengapa, meski aku sudah memikirkan segala hal tentang itu, nyatanya aku belum merasa siap. Ketika pria kenalan itu menghubungiku, menemuiku, dan berbasa-basi; aku merasa jengah. Antara bosan dan gak nyaman. Padahal beberapa saat sebelum aku mengenalnya, aku telah mengutarakan keinginan menikah-ku pada beberapa kawan dekat. Tidak ngotot, tidak pula lunglai. Hanya berucap, "iya, aku pengen nikah" sesekali, seperti yang dilakukan banyak wanita di usia 20-an. Lalu entah mengapa ketika saatnya nyaris mendekat, aku justru menjauh.
Aku percaya lelaki sang jodoh akan memberikan keyakinan penuh pada hati, bahwa ia memang telah dipilihkan-Nya untukku. Dan ini yang tidak aku dapat di pria tersebut. Bukan. Bukan karena ia memperlakukanku dengan buruk. Justru pria itu adalah lelaki baik, pintar, cerdas, bijak, tangguh, pemberani, ramah, sesekali humoris, islami, dan bisa jadi juga menjadi pujaan banyak wanita. Tapi bila rasa yakin itu tak muncul dalam hati, untuk apa aku melanjutkan perjodohan ini? Maka bismillah, kubatalkan, kurenggangkan hubunganku dengannya. Meski aku terus berharap, semoga jalinan silaturahmi kami tetap terjaga.
Semakin hari, pikirku semakin tak keruan. Berbagai cara menghilangkannya, berbagai cara pula ia kembali. Aku berulang kali terpikir, persis seperti yang temanku bilang. Hiks, rencana untukku membuka diri pada pria sepertinya memang belum berhasil. Meski harus kuakui, usahaku ini sedikit banyak telah menunjukkan peningkatan. Ya, mungkin belum saatnya dan barangkali aku memang harus berusaha lebih keras.
Ogahlah ya, menikah di umur yang sudah berlebih? Gak kebayang dengan omongan orang-orang. Toh aku juga ga yakin dengan diriku kelak. Sekarang saja rasanya sudah pengen ditemani, ditunggui. Apalagi beberapa tahun kemudian, ya?
Maka mimpiku, menikah di usia 25 tahun. Itu artinya, aku punya waktu sekitar satu setengah tahun lagi untuk menemukan lelaki pilihan-Nya. Bismillah, semoga kita semua didekatkan dengan jodoh terbaik kita masing-masing ya. Aamiin :)
Aneh-aneh saja dengan kejadian-kejadian hidup ini.
Baru saja aku mengepos tulisan tentangnya, ia membalas pesanku. Tak dinyana, ia ingat dengan perkataan (janji, red) yang aku rasa diucapkannya dengan spontan. Dan kau tau, apa yang ia katakan?
"Yaa, (melalui) mimpi, boleh tidak?"
Aku tertawa. Bukankah itu sudah terjadi, tadi malam? :D
Malam tadi aku bermimpi tentang seseorang yang pernah aku kagumi. Bukan karena ia bijaksana atau hal lain yang juga membuatku kagum dengan orang lain selain dia, tetapi sebab ia adalah barisan pertama yang memberiku harapan. Barisan pertama teman-temanku yang memberiku perhatian. Sebab ia lelaki, maka aku tak patut pula memberi perhatian amat lebih kecuali benar-benar aku menginginkan hidupnya ada padaku. Ini komitmenku, tak perlu disanggah siapapun.
Kemudian saat aku terbangun, aku sadar bahwa mungkin ini adalah barisan hayalanku yang belum terwujud. Maka aku tersenyum, Tuhan mengabulkannya melalui mimpi. Ia bukan muhrimku, maka aku tak boleh berjalan hanya berdua bersamanya. Kecuali dalam mimpi, bukan? :D
Kalau kata orang mimpi adalah alam bawah sadar, maka entah mimpi ini apa artinya. Aku memang baru saja bertemu dengannya secara nyata, dan ia kembali berhasil membuatku melongo atas sikapnya. Suatu kali waktu itu, ia berkata akan menemuiku; mengajakku berjalan-jalan untuk sekedar melepas penat pembelenggu hidup.
Dan (kalau boleh dikatakan sebagai) janji-nya itu, terlaksana malam tadi
lewat mimpi.
Maka, aku akan menganggap janjinya telah lunas sehingga aku tak perlu merengek untuk hal tak penting itu. Allah yang telah menuntaskan janji. Sebab akan ada sederet rasa bersalah jika memang pada akhirnya aku harus pergi berdua bersamanya...
"Menempa untuk terus menempa, kembali menempa untuk mampu menempa. Hingga jiwa tak mampu lagi hidup untuk menempa."
Bismillah, klub belajar Linguistik sudah satu langkah. Masih perlu jutaan langkah untuk ribuan tempaan ilmu. Memperdalam keilmuan, memperluas pengetahuan, sembari menebar kebaikan.
Sementara itu, aku masih rindu buku, anak-anak, dan calon imamku.
Ketika semua terasa redup, aku ingin menjadi diriku yang terang.
Meski kadang saat semua terang, aku memilih untuk meredup.
Tak ada yang perlu disalahkan.
Sebab terkadang kita hanya butuh sesuatu-yang-lain.
Menjadi yang-lain.
Untuk dianggap seperti yang-lain.
Bisa jadi sebagai ungkapan benci terhadap konsistensi, mungkin juga begah terhadap carut marut hidup yang kita buat sendiri.
Maka biarkan aku menjadi yang-lain.
Mencampakkan yang lain untuk kemudian menjadi yang-lain.
Surakarta, 18 Maret 2015.