Tahun 1908
pemerintah kolonial Belanda membangun badan penerbit buku bacaan yang kemudian
diberi nama yaitu Commissie voor de Volkslectuur atau Taman Bacaan Rakyat. Pada
tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka. Badan penerbit tersebut menerbitkan
berbagai macam novel, seperti Siti Nurbaya, buku penuntun bercocok tanam, dan
lain sebagainya yang membantu dalam penyebaran bahasa Melayu.
Tanggal 16
Juni 1927 Jahja Datoek Kajo memakai bahasa Indonesia di dalam pidatonya. Hal
ini merupakan pertamakalinya di sidang Volksraad, terdapat seseorang yang
berpidato dengan memakai bahasa Indonesia.
Tanggal 28
Oktober 1928 Muhammad Yamin secara resmi mengusulkan supaya bahasa Melayu
digunakan sebagai bahasa persatuan Indonesia.
Tahun 1933
terbit majalah Pujangga Baru yang diasuh oleh Sutan Takdir Alisyahbana, Amir
Hamzah, dan Armijn Pane. Pengasuh majalah ini adalah sastrawan yang banyak
memberi sumbangan terhadap perkembangan bahasa dan sastra Indonesia. Pada masa
Pujangga Baru ini bahasa yang digunakan untuk menulis karya sastra adalah
bahasa Indonesia yang dipergunakan oleh masyarakat dan tidak lagi dengan
batasan-batasan yang pernah dilakukan oleh Balai Pustaka.
Tahun
1938, dalam rangka
memperingati sepuluh tahun Sumpah Pemuda, diselenggarakan Kongres Bahasa
Indonesia I di Solo, Jawa Tengah. Kongres ini dihadiri oleh bahasawan dan
budayawan terkemuka pada saat itu, seperti Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat,
Prof. Dr. Poerbatjaraka, dan Ki Hajar Dewantara. Dalam kongres tersebut
dihasilkan beberapa keputusan yang sangat besar artinya bagi pertumbuhan dan
perkembangan bahasa Indonesia. Keputusan tersebut, antara lain: mengganti
Ejaan van Ophuysen, mendirikan Institut Bahasa Indonesia, dan menjadikan
bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam Badan Perwakilan.
Tahun
1942-1945 (masa pendudukan Jepang), Jepang melarang pemakaian bahasa Belanda
yang dianggapnya sebagai bahasa musuh. Penguasa Jepang terpaksa menggunakan
bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi untuk kepentingan penyelenggaraan
administrasi pemerintahan dan sebagai bahasa pengantar di lembaga pendidikan,
sebab bahasa Jepang belum banyak dimengerti oleh bangsa Indonesia. Hal yang
demikian menyebabkan bahasa Indonesia mempunyai peran yang semakin penting.
Tanggal 18
Agustus 1945 bahasa Indonesia dinyatakan secara resmi sebagai bahasa negara
sesuai dengan bunyi UUD 1945, Bab XV pasal 36: "Bahasa negara adalah
bahasa Indonesia".
Tanggal
19 Maret 1947 melalui SK
No. 264/Bhg. A/47, Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Mr. Soewandi
meresmikan penggunaan ejaan Republik sebagai pengganti dari ejaan Van
Ophuijsen yang sebelumnya berlaku.
Tahun 1948
terbentuk sebuah lembaga yang menangani pembinaan bahasa dengan nama Balai
Bahasa. Lembaga ini, pada tahun 1968, diubah namanya menjadi Lembaga Bahasa
Nasional dan pada tahun 1972 diubah menjadi Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa yang selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan Pusat Bahasa.
Tanggal 28
Oktober - 2 November 1954 dilaksanakan Kongres Bahasa Indonesia II di Medan.
Kongres Bahasa Indonesia II ini adalah perwujudan mengenai tekad bangsa
Indonesia untuk tetap terus menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat
menjadi bahasa kebangsaan serta ditetapkan menjadi bahasa negara Indonesia.
Tanggal 16
Agustus 1972 Presiden Republik Indonesia pada masa itu yaitu Presiden
Soeharto meresmikan penggunaan EYD atau Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan dengan melalui pidato kenegaraan di depan sidang DPR dan
dikuatkan dengan adanya Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972.
Pada
tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada masa itu
menetapkan mengenai Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan
serta Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi diberlakukan di Indonesia (Wawasan
Nusantara).
Tanggal 28
Oktober - 2 November 1978 dilaksanakan Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta.
Kongres tersebut untuk memperingati hari Sumpah Pemuda ke-50. Selain telah
memperlihatkan kemajuan, perkembangan, dan pertumbuhan bahasa Indonesia, juga
telah berusaha untuk memantapkan kedudukan serta fungsi bahasa Indonesia itu
sendiri.
Tanggal
21-26 November 1983 dilaksanakan Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta.
Kongres Bahasa Indonesia IV ini dilaksanakan untuk memperingati hari Sumpah
Pemuda ke-55. Dalam putusannya itu disebutkan bahwa pengembangan dan pembinaan
bahasa Indonesiab yang harus ditingkatkan sehingga amanat tercantum dalam
Garis-Garis Besar Haluan Negara, dimana mewajibkan kepada warga negara
Indonesia untuk memakai bahasa Indonesia dengan benar dan dapat tercapai dengan
semaksimal mungkin.
Tanggal 28
Oktober - 3 November 1988 dilaksanakan Kongres Bahasa Indonesia V di
Jakarta. Kongres Bahasa Indonesia V ini dihadiri oleh sekitar 700s pakar bahasa
Indonesia dari seluruh Indonesia serta terdapat peserta tamu dari berbagai
negara sahabat. Kongres tersebut ditandatangani dengan dipersembahkannya karya
dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada para pencinta bahasa
Indonesia di Nusantara, yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia serta Tata Bahasa
Baku Bahasa Indonesia.
Tanggal 28
Oktober - 2 November 1993 dilaksanakan Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta.
Pesertanya yaitu 770 pakar bahasa dari Indonesia dan terdapat 53 peserta tamu
dari mancanegara. Kongres ini mengusulkan supaya Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa untuk lebih ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, dan
mengusulkan agar disusun Undang-Undang Bahasa Indonesia.
Tanggal
26-30 Oktober 1998 dilaksanakan Kongres Bahasa Indonesia VII di Hotel
Indonesia, Jakarta. Dengan diselenggarakannya kongres tersebut guna mengusulkan
dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa.